Archives

  • Vol. 20 No. 1/Oktober (2023)

    Pembaca budiman, Limen edisi ini menyajikan lima naskah dengan beberapa perspektif yakni tinjauan filsafati, teologis, alkitabiah, formatif, dan antropologis.

    Artikel pertama, ditulis oleh Ignasius Ngari membahas konsep Nietzsche tentang “keinginan untuk berkuasa” yang tidak memiliki definisi yang jelas dan pasti, sehingga menimbulkan banyak tafsir. Yang paling menonjol adalah implikasi metafisik dan pragmatisnya. Dalam konteks ini, muncul aspek krusial: keinginan untuk hidup harus memiliki substansi yang nyata agar tidak menjadi konsep yang hampa dan ilusif. Konsekuensinya, merangkul kerangka keinginan untuk berkuasa menjadi perjuangan terus-menerus untuk melampaui dan meninggikan diri sendiri. Selain itu, hakikat mendasar dari keinginan untuk berkuasa menuntut penerimaan terhadap beragam aspek kehidupan. Keduanya penting dan pada dasarnya saling berhubungan. Keinginan untuk berkuasa memiliki arti penting dalam pengembangan pribadi di tengah kehidupan yang terus berubah, yang menawarkan kemudahan sekaligus menantang.

    Artikel kedua, karya Fumensius Gions, berporos pada pertanyaan, “Apa yang dimaksud dengan beriman kepada Tuhan sebagai asal-mula dan akhir segala sesuatu?” Menurutnya, menjadi manusia berarti membangun hubungan dengan Tuhan dan sesama. Martabat manusia berasal dari kenyataan bahwa kita diciptakan Tuhan dan ditakdirkan untuk bersama-Nya dan dengan sesama. Manusia mampu membedakan tindakan apa yang memanusiakan dan tidak memanusiakan dirinya dan sesamanya, perilaku apa yang berkontribusi meningkatkan martabat pribadi manusia, dan yang bertentangan dengan hal ini. Menurut Gions, konsep Rahner tentang pengalaman akan Tuhan dan diri kita sendiri berfungsi sebagai panduan dan inspirasi untuk berefleksi.

    Dalam artikel ketiga, David Dapi mengulas kitab Mikha pasal 6 yang menawarkan pemeriksaan kritis terhadap tiga aspek kehidupan sosial Israel: raja, imam, dan nabi. Dalam perikop itu dikatakan, para pemimpin menunjukkan perilaku sewenang-wenang dan tidak adil, para imam gagal menjalankan tugas sucinya, dan para nabi tidak menyampaikan kebenaran. Perselisihan yang diuraikan dalam Mikha 6:1-8, sebuah tema yang berulang kali muncul dalam literatur nubuatan Perjanjian Lama, dikenal sebagai “rîb”. Dalam ayat-ayat ini, Mikha menyampaikan syarat-syarat dari Allah untuk menegakkan kembali keadilan, serta tindakan keagamaan dan sipil yang diperlukan untuk memulihkan hubungan mereka dengan Tuhan. Mikha mengingatkan Israel akan tradisi keagamaan yang terkandung dalam Taurat.

    Dalam karya tulis berikutnya, Wilhelmus Ireneus Gonsalit Saur mengulas tentang Gereja sinodal sebagai modus vivendi et operandi spesifik Umat Allah. Namun, semangat berjalan bersama telah menjadi masalah dalam Gereja. Klerikalisme adalah tantangan nyata bagi Gereja untuk melakukan perjalanan bersama. Fokus artikel ini adalah bagaimana membentuk para seminaris secara sinode. Menurutnya, rumah formasi adalah tempat untuk belajar dan mempraktikkan persekutuan, partisipasi, dan misi. Di sana, para seminaris belajar mendengarkan, membedakan, dan berpartisipasi. Untuk melaksanakan pelayanan khusus ini diperlukan orang-orang yang terlatih dengan baik sebagai seorang formator, yang mampu mengintegrasikan 4 dimensi formasi imamat. Proses formatio yang baik akan membantu para seminaris menjadi pelayan yang baik dalam perjalanan mereka bersama Umat Tuhan.

    Di artikel kelima, Albertus Heriyanto menganalisis salah satu aspek budaya Maybrat, yakni sistem kepemimpinan bobot. Kepemimpinan ini berkisar pada individu yang memiliki serangkaian kualitas unik, termasuk kekayaan, kemurahan hati, pengetahuan, dan otoritas. Karakteristik yang melekat pada sistem kepemimpinan bobot tampaknya sejalan dengan apa yang disebut Marshall Sahlins sebagai “sistem big-man”. Sistem ini berpusat pada laki-laki yang diakui pengaruhnya, baik dalam komunitasnya maupun dalam hubungan antarkomunitas. Namun, muncul pertanyaan mendesak mengenai keberlanjutan dan relevansi sistem kepemimpinan ini dalam masyarakat Maybrat kontemporer. Dalam menghadapi globalisasi, modernisasi, dan perubahan sosial yang pesat, mampukah sistem kepemimpinan bobot bertahan? Apa peran sistem ini dalam dinamika masyarakat Maybrat saat ini?

  • Vol. 19 No. 2/April (2023)

    Pembaca budiman, limen edisi ini menyajikan lima naskah dengan beberapa perspektif. Ada dua artikel bertinjauan teologis, satu bertinjauan Alkitabiah, dan dua tulisan tentang pendidikan.
    Pertama, artikel Fransiskus Guna tentang pemikiran Thomas Aquinas. Menurut Guna, Aquinas mewarisi gagasan filosofis dan teologis dari Agustinus yang berdampak besar pada ajaran Gereja. Pengaruh Agustinus terhadap Aquinas disebut sebagai Agustinianisme Aquinas yang dilatarbelakangi pemikiran Aristoteles. Salah satu warisan teologis Agustinus yang dikembangkan Aquinas ialah ajaran tentang Sabda yang merupakan Pribadi Ilahi kedua dalam Trinitas. Meski penuh kontroversi, Aquinas tetap menggunakan epistemologi Aristoteles sebagai kacamata untuk membaca ajaran Augustinus dan membuat sintesis teologis yang khas dan determinatif. Artikel ini mencoba menunjukkan seberapa jauh dan seberapa baik Aquinas mengembangkan konsep tentang kata atau sabda, baik secara teologis maupun filosofis.
    Perspektif teologis mewarnai artikel kedua yang ditulis Abdon Bisei yang berefleksi tentang mitos dalam gerakan kargo di Melanesia. Bisei menyatakan, gerakan kargo di Melanesia yang bersumber pada mitos masyarakat bermakna religius karena di dalamnya bisa ditemukan bentuk komunikasi Allah dengan manusia. Karena itu, gerakan kargo bukan sekedar gerakan sosial kemasyarakatan biasa melainkan gerakan yang mengungkapkan iman orang Melanesia. Melalui mitos-mitosnya, orang Melanesia menghayati perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi, sebagaimana perjumpaan umat kritiani dengan Allah.
    Di artikel ketiga, David Dapi menyajikan tulisan berlatar Kitab Suci Perjanjian Lama tentang kesetiaan Tuhan dan pemberontakan Israel di padang gurun. Dapi menjelaskan bahwa pada umumnya orang mempunyai perspektif negatif bila mendengar kata padang gurun. Padang gurun dilihat sebagai tempat kering, gersang, tandus, dan menakutkan karena merupakan wilayah yang tak berkehidupan. Namun dalam Pentateukh, khususnya kitab Keluaran dan Ulangan, dikisahkan bahwa padang gurun dipilih Tuhan untuk bangsa Israel mengembara selama kurang lebih empat puluh tahun sebelum memasuki Tanah terjanji. Dalam situasi sulit itu, bangsa Israel berjuang bertahan hidup, dan pada saat-saat tertentu mereka memberontak melawan Tuhan melalui penyembahan berhala dan berkeluh-kesah tentang kekurangan makanan serta minuman. Pemberontakan itu menunjukkan ketidaksetiaan bangsa Israel pada Tuhan, namun Tuhan yang membawa mereka keluar dari Mesir dan tetap setia dan memimpin mereka ke Tanah Terjanji. Pada titik ini dapat dikatakan bahwa padang gurun menjadi sekolah iman bagi bangsa Israel.
    Pada artikel keempat, Athanasius Bame mengajak pembaca merenungkan komitmen pendidik Katolik. Bame mengatakan bahwa komitmen merupakan hal penting di semua sistem sosial, termasuk di dunia pendidikan. Komitmen para pendidik dalam Gereja Katolik terlihat dari keterikatannya dengan sekolah, siswa, profesi, pengajaran, dan hal-hal lain dalam lingkungan sekolahnya. Keberhasilan anak didik merupakan indikator untuk memahami motivasi para pendidik yang berkualitas, yang mampu beradaptasi, terampil, selalu hadir, dan mempengaruhi sikap serta cara belajar para murid. Menjadi pendidik Katolik merupakan panggilan pelayanan dan medan kesaksian iman; bukan sekedar profesi. Motivasi dan komitmen merupakan elemen intrinsik dalam diri pendidik Katolik.
    Ignasius Ngari -di artikel terakhir edisi ini- mengajak kita memahami hubungan antara gagasan Gereja Sinodal dan pendidikan di STFT Fajar Timur. Menurut Ngari, pendidikan di STFT Fajar Timur secara historis dikembangkan dalam kaitan erat dengan paham Gereja Sinodal, yakni kemitraan, partisipasi, dan missi. Dinamika pendidikannya memperlihatkan Gereja yang berjalan bersama dengan Gereja universal, Gereja lokal, masyarakat setempat, negara, dan semua orang. Namun menurut Ngari, ada elemen Gereja sinodal yang hilang dari lingkungan belajar di STFT Fajar Timur, seperti kebersamaan antara laki-laki dan perempuan serta antara pelayan umat yang awam dan para calon imam. Lingkungan belajar yang mewujudkan ciri Gereja sinodal itu penting untuk mengembangkan suasana pendidikan dialogis, sikap saling percaya, demi hadirnya pribadi yang teruji dan sadar diri sebagai bagian dari warga masyarakat global.

  • Vol. 18 No. 2 (April) (2022)

    Editorial

    Pembaca budiman, Limen edisi ini menyajikan lima naskah dari khasanah teologi, hukum kanonik, eklesiologi, hubungan antaragama, dan antropologi.
    Pertama, Fransiskus Guna menulis artikel tentang Teologi Apofatik Thomas Aquinas. Menurutnya, dalam tradisi teologi Kristen, istilah teologi ‘apofatik’ telah diperlakukan sebagai salah satu dari dua cara mendasar untuk berbicara tentang Tuhan, selain teologi ‘katafatik’. Teologi ‘apofatik’ dengan tegas menyatakan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita katakan tentang Tuhan bukanlah apa itu Tuhan, tetapi apa yang bukan Tuhan. Gagasan-gagasan alkitabiah dan patristik tentang cara apofatik menjadi landasan dasar untuk melakukan pendekatan teologis semacam itu. Di atas fondasi itu Thomas Aquinas membangun teologi apofatiknya sendiri. Inti teologi apofatik Aquinas bukanlah kurangnya pengetahuan atau ketidakmungkinan pengetahuan, melainkan kesadaran terus-menerus akan deus semper maior. Teologi apofatiknya tidak berarti bahwa seseorang tidak dapat berbicara dengan jujur tentang Tuhan, melainkan bahwa berbicara tentang Tuhan selalu tidak memadai.
    Pada artikel kedua, Philip Ola Daen mengupas soal keberadaan dan penegakan hukum dalam Gereja yang sering dicap dengan stigma bahwa Gereja terutama adalah masyarakat amal, bukan masyarakat yuridis, sehingga hanya Injil yang boleh ditegakkan sebagai hukum. Dikotomi antara Gereja amal dan Gereja yuridis terjadi karena ketidaktahuan. Konstruksi konsep hukum yang stigmatis ini harus dirontokkan dengan merekonstruksi persepsi yang benar tentang Gereja sebagai suatu masyarakat. Hukum Gereja berakar pada Kitab Suci, yang ada untuk pelayanan persekutuan dan keselamatan jiwa. Hukum tidak bertentangan dengan amal karena keduanya pada hakikatnya tidak bertentangan. Hukum juga tidak bertentangan dengan kebebasan karena tugas utama hukum ialah mewujudkan kebebasan sejati.
    Di artikel berikutnya Konstantinus Bahang menuliskan korelasi pemikiran Paus Fransiskus dan Gereja Sinodal. Menurut Bahang, Gereja sinodal mau mewujudkan ide Gereja sebagai persekutuan dalam Konsili Vatikan II. Dengan Gereja sinodal, Paus Fransiskus menekankan primat Umat Allah sebagai pelaku utama kehidupan menggereja dan sebagai tujuan pelayanan dalam Gereja. Gereja sinodal mau mewujudkan persekutuan Tritunggal dan misi Allah melalui Gereja untuk menyatukan semua orang. Demi partisipasi optimal Umat Allah, paus mendorong pengembangan sensus fidelium dan perluasan ruang yang digunakan untuk berkonsultasi (wadah-wadah kolegial) serta menjadi cara kerja baru dalam pelayanan dan kepemimpinan Gereja.
    Di artikel keempat, Mathias Daven menuangkan pemikirannya tentang tantangan bagi hubungan antara Islam dan Kristen di Indonesia. Daven mengkaji tentang bagaimana umat Islam dan Kristen di Indonesia menaklukkan ketegangan dilematis antara klaim kebenaran dan toleransi mereka terhadap perdamaian dan keadilan dalam hidup bersama. Hubungan harmonis antara kedua kelompok agama ini mengalami pasang-surut dan hampir tidak tergantung pada upaya kedua belah pihak untuk mengatasi ketegangan antara klaim kebenaran dalam agama masing-masing. Tantangannya, dapatkah umat Islam dan Kristen mempertahankan prinsip-prinsip absolut dari agama masing-masing sambil mematuhi rahasia pemeliharaan ilahi yang membutuhkan pluralitas agama? Bagaimana kita mengembangkan toleransi berdasarkan gagasan keadilan?
    Artikel kelima adalah karya Agustinus Meko yang mengkaji tentang hubungan ekologi dan identitas keagamaan masyarakat Dayak Bahau dalam tradisi hudoq. Menurut Meko, antara manusia dan alam terdapat suatu mata rantai yang tidak terpisahkan. Dari alamlah masyarakat Dayak Bahau menemukan jati dirinya. Namun, masuknya modernisme dan pembangunan yang tidak ramah lingkungan, telah mengakibatkan terjadinya krisis ekologis, krisis identitas, dan krisis makna. Laudato Si' mengisyaratkan bahwa transformasi kehidupan sangat diperlukan ketika manusia berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sering disalahgunakan untuk mengeksploitasi alam dan budaya. Semua orang diajak untuk membangun kehidupan yang berintegritas, yaitu mengenal jati diri dan bertumbuh dalam kesehateraan.
    Selamat membaca.

  • Vol. 18 No. 1 (Oktober) (2021)

    Pembaca budiman, Limen edisi ini akan menyajikan empat naskah dari khasanah ilmu teologi, hukum Gereja, dan pastoral.
    Masyarakat yang plural menawarkan berbagai nilai. Dari perspektif teologi, nilai-nilai yang ditawarkan dalam kehidupan manusia dapat menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan tentang Allah. “Apa yang mau saya katakan tentang Allah melalui nilai-nilai itu?” Artikel pertama edisi ini mengajak kita berziarah bersama Paul F. Knitter, melalui refleksinya tentang Allah dalam masyarakat yang plural. Fransiskus Borgias yang menelusuri pemikiran Knitter, menyajikan analisisnya melalui artikel yang berjudul Paul F. Knitter: Dari Titik ke Tanda Tanya. Sebuah Survey dan Penelitian terhadap Teologi Knitter. Hasil penelitian Borgias menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran Knitter merupakan upaya untuk menemukan metode dan cara berdialog dengan agama-agama-agama lain dalam realitas masyarakat yang plural.
    Hidup bersama dalam masyarakat yang plural mengandaikan atmosfir sosial yang dialogis, sehingga dapat terbentuk suatu komunitas masyarakat yang komunikatif. Knitter berpegang pada keyakinan Katoliknya menawarkan metode dialog untuk menemukan pokok-pokok yang membedakan penghayatan iman umat dari komunitas agama berbeda tapi sekaligus menyatukan mereka. Dalam membentuk komunitas yang komunikatif pada tataran hidup beragama, Maximilan Boas Pegan seakan menegaskan pemikiran Knitter yang pada artikel sebelumnya diudar oleh Borgias. Melalui artikel Tuhan: Partisipan yang Imparsial, Pegan memberi peringatan bahwa fanatisme beragama dapat menjadi pemecah-belah hidup bersama yang membawa manusia penderitaan. Karena itu, Pegan mengajukan proposal untuk membangun hubungan antarumat beragama dengan berusaha melihat seluruh pesan Tuhan terhadap umatnya secara imparsial. Dalam posisinya sebagai seorang Katolik, Pegan menegaskan pendirian umat Kristen berdasarkan ajaran Kristus yakni mencintai keuniversalan rencana Tuhan melalui kesaksian hidup.

    Martinus Selitubun dengan artikelnya Tonggak-Tonggak Inkardinasi dalam Gereja, menyajikan pemikiran yang menarik tentang inkardinasi. Ia mengatakan bahwa kepemimpinan suatu kelompok membutuhkan legalitas. Dalam Gereja -sebagai suatu institusi sosial- legalitas kepemimpinan itu diberikan pada seorang imam melalui tahbisan dan perutusan. Seorang yang tertahbis pada suatu keuskupan dapat menjalankan tugas perutusannya pada suatu paroki di luar keuskupannya. Agar memiliki legalitas penuh dengan yurisdiksi yang kuat, ia perlu mendapatkan status inkardinatif dari ordinaris wilayah, tempat yang bersangkutan menjalani tugas perutusannya.
    Dalam artikel keempat, Oksianus K. Bukega mengatakan bahwa komunitas besar, masyarakat yang plural, tidak boleh menenggelamkan komunitas-komunitas minoritas ke dalam komunitasnya. Komunitas besar justru harus tetap menerima keunikan komunitas-komunitas kecil dan memungkinkan kelompok minoritas menegaskan jati diri mereka. Bukega berpendapat bahwa pengenalan Gereja akan jati diri suatu kelompok etnis -sebagaimana halnya sukubangsa Ngalum- dapat memberi sumbangan bagi usaha evangelisasi untuk membangun komunitas beriman kristiani. Bukega membahas upaya pembinaan iman yang memperhitungkan nilai-nilai kearifan masyarakat setempat itu, melalui artikelnya Iwol: Pintu Masuk Evanggelisasi Berbasis Budaya bagi Sukubangsa Ngalum. Menurutnya, banyak aspek budaya sukubangsa Ngalum dapat diintegrasikan dalam hidup menggereja dan diperjumpakan dengan nilai-nilai Injil. Dengan perspektif itulah nilai-nilai kehidupan yang dihayati kelompok-kelompok kesukuan itu dapat terserap ke dalam kehidupan bersama, khususnya dalam hidup menggereja.
    Semoga kita mampu menerima kemajemukan dan tetap berpegang pada keyakinan iman kita.
    Selamat membaca.

  • Vol. 17 No. 1 (Oktober) (2020)

    Pembaca budiman, Limen edisi ini akan menyajikan empat naskah berturut-turut dari khasanah teologi, misiologi, antropologi, dan pastoral.
    Pertama, Fransiskus Guna menulis artikel dengan judul Yang Sakral sebagai Yang Riil. Menurutnya, yang sakral adalah salah satu kategori Eliade yang paling mendasar sekaligus bermasalah untuk memahami dan menjelaskan fenomena dan sejarah agama. Masalah ini bersifat mendasar karena bagi yang sakral hampir semua kategori lainnya dijelaskan. Hal itu bermasalah bahkan kontrovesial dalam kaitan dengan gagasan Eliade tentang alam dan status sakral. Dalam studinya tentang yang sakral, Eliade masuk ke cara berpikir dualistik dan memperlakukan yang sakral sebagai yang nyata sementara yang profan sebagai yang ilusif. Pengandaian Eliade tentang yang sakral dan profan itu bermasalah karena sulit untuk menentukan apakah ia mengklaim objek yang termasuk dalam bidang profan benar-benar ada atau tidak. Karena kesulitan tersebut, diperlukan penjelasan Lonergan tentang yang sakral dan yang profan sebagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.
    Dalam artikel kedua yang berjudul Tempat Tribal Groups dalam Gereja Lokal Papua, Glen Lewandowski mengkaji tentang tribal groups di Papua dapat ditinjau dari segi sosial-budaya, ekonomi pembangunan, politik dan kebijakan afirmatif. Artikel ini akan menelisiknya dari sudut eklesiologis Gereja lokal Papua yang diuraikan dengan pendekatan teologi pada Gereja partikular dari sudut misiologi dan evangelisasi. Artikel ini juga menengahkan tujuan pengembangan Gereja partikular sebagai visi dan misi pada rencana pastoral-misioner. Tujuannya mengasah daya timbang agar Gereja lokal semakin sungguh-sungguh menempatkan diri secara tepat dalam menghadapi tantangan kebudayaan lokal yang ada, guna menempa suatu ‘pedoman arah’ yang tepat bagi Gereja setempat.
    Sesudah Konsili Vatikan II, para Wali Gereja Provinsi Gerejawi Papua, mencoba membenahi lembaga pendidikan calon pelayan Gereja lokal Papua dengan program pendidikan yang lebih sesuai dengankonteks sosial-budaya Gereja Papua. Lewandowski dengan jeli memikirkan dampak perubahan sosial-budaya itu bagi tribal groups di Papua.
    Di artikel berikutnya, Mitos Naruekul: Asal-Usul Orang Balim dan Asal-Mula Perang di Lembah Balim, Albertus Heriyanto menulis tentang asal-mula perang tradisional antarkelompok yang tampaknya sangat berpengaruh terhadap sistem kepercayaan orang Balim. Sejarah konflik komunal di Lembah Balim tidak lepas dari mitos asal-usul orang Balim, terutama kisah pembunuhan Naruekul. Kisah Naruekul boleh dikatakan sebagai mitos sentral dalam sistem kepercayaan orang Balim. Mitos tersebut berfungsi sebagai sumber inspirasi ideologis tentang berbagai hal yang penting dan mendasar seperti asal-usul orang Balim dan asal-usul berbagai tata kehidupan adat. Lebih dari itu, mitos Naruekul ternyata juga kadang dijadikan salah satu rujukan mitis (ideologis) untuk menjelaskan asal-usul terjadinya konflik dan pembunuhan antarindividu maupun asal-usul perang antarkelompok.
    Dalam artikel keempat, Budi Nahiba dan Albertus Heriyanto menulis tentang Gerakan Tungku Api Kehidupan: Pemberdayaan Masyarakat Kamoro di Kampung Otakwa. Dalam artikel tersebut penulis menganalisis implementasi Gerakan Tungku Api Kehidupan. Penulis mencatat bahwa latar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kamoro-Sempan di Kampung Otakwa adalah peramu. Masyarakat hingga kini sangat bergantung pada sumber daya alam yang melimpah dan bernilai jual tinggi di Kota Timika. Namun, karena akses transportasi sungai ke Timika sering terhalang oleh sedimentasi tailing PT. Freeport Indonesia, masyarakat mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil alamnya ke Timika. Masalah transportasi itu juga mengakibatkan mahalnya harga sembilan bahan pokok di Kampung Otakwa.
    Pada dasarnya, masyarakat sangat antusias dengan program-program ekonomi dalam Gerakan Tungku Api Kehidupan, yang dirasa penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir Mimika. Catatan penulis, para pendamping dalam gerakan tersebut perlu memerhatikan aspek antropologi dan sosiologi masyarakat Kamoro-Sempan agar program pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat itu selaras dengan budaya masyarakat lokal.
    Selamat membaca.

  • Vol. 16 No. 1, Oktober (2019)

    Pembaca budiman, Limen edisi ini akan menyajikan empat naskah dari khasanah teologi, etika Kristen, misiologi, dan sosiologi. Karya-karya tersebut didedikasikan kepada Prof. Dr. Nico Syukur Dister, OFM yang pada 7 Maret 2019 yang lalu genap berusia 80 tahun.

    Dalam artikel pertama, Fransiskus Guna menelisik pemikiran Nicholas dari Cusa, dalam karyanya, De Docta Ignorantia. Dalam karya tersebut Cusanus mengembangkan doktrinnya tentang Tuhan sebagai coincidentia oppoitorum, yaitu di dalam Tuhan, semua yang berbeda dan bertentangan bertindih secara tepat. Umumnya, hal-hal yang tidak diketahui dinilai dari kemiripannya dengan hal-hal yang diketahui, seperti jarak yang sangat jauh diukur dengan serangkaian jarak yang lebih kecil yang diketahui. Masalahnya, Tuhan, Sang Maksimum dan Minimum Mutlak itu, adalah tak terbatas dan tak terukur. Maksimum berarti semua yang ada. Tidak ada yang melampauinya. Namun, jika itu menyelimuti semua kemungkinan keberadaan dalam dirinya sendiri, maka tidak ada yang kurang dari itu; dan karena itu juga berarti Minimum. Baik Maksimum maupun Minimum adalah sebutan alternatif untuk Yang Tak Terbatas. Keduanya bertepatan.

    Eliade mengakui bahwa gagasan Cusanus tentang coincidentia oppoitorum berfungsi sebagai pengaruh formatif pada gagasannya sendiri tentang yang sakral dan yang profan, bahkan membuatnya terpesona sampai akhir hidupnya. Tapi seberapa tepatkah menyesuaikan Cusanus dengan cara yang dilakukan Eliade? Pada titik ini, Frans Guna mengatakan bahwa mungkin cukup untuk sekedar dicatat bahwa Eliade tampaknya melihat coincidentia oppoitorum sebagai surat perintah untuk menghilangkan sejarah. Kontribusinya, terletak pada ritus prasejarah, mitos dan teori.

    Pada artikel kedua, Silvinus Soter Reyaan menulis bahwa sebagai seorang Kristen, berpegang pada salib Kristus merupakan segalanya untuk kehidupan moralnya. Menurutnya, di kayu salib, seorang Kristen menemukan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan kebahagiaan, dan keselamatan. Ia menemukan kebebasan sejati dengan selalu memilih untuk tetap setia pada kehendak Tuhan. Seorang Kristen sejati tidak akan pernah lari dari salib Kristus, meskipun pilihan tersebut menuntut penderitaan dan pengorbanan. Di sisi lain, dengan melihat salib, ia tahu bagaimana harus menjalani karunia pengampunan dalam hidupnya, yang membawanya pada kebahagiaan sejati. Segala nilai dan norma, yang disebutnya dalam tulisan ini sebagai “moralitas” selalu hadir dan diperbarui setiap kali seseorang melaksanakan nilai dan norma tersebut dengan sepenuh hati.

    Di artikel berikutnya, Konstantinus Bahang menulis tentang  kunjungan Paus Fransiskus ke Mesir dan Uni Emirat Arab pada 2019, yang tampaknya terinspirasi olehperjumpaan Santo Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil, yang terjadi pada tahun 1219. Kunjungan bersejarah Paus Fransiskus itu menandai peringatan kedelapan ratus pertemuan Santo Fransiskus dengan Sultan Mesir. Pertemuan ini dapat dianggap sebagai model yang menginspirasi umat manusia untuk membangun relasi yang baik antarumat beragama, khususnya relasi antara umat Kristen dan Muslim. Namun, Bahang memberi catatan bahwa pertemuan ini ditafsirkan berabad-abad setelah perjumpaan itu terjadi, dan ditafsirkan dari sudut pandang dialog modern yang mungkin bertolak belakang dengan konteks saat itu. Maka, makna pertemuan ini harus dipahami dalam terang misi Fransiskan dan semangat persaudaraan universal yang terdapat dalam Regula dan Perjanjian pertama Santo Fransiskus.

    Tulisan keempat, karya Bernardus Renwarin, berisi refleksi atas realitas kehidupan Orang Workwana di Distrik Arso, Kabupaten Keerom. Studi tentang kampung Workwana, secara empiris dan teoritis memperlihatkan bahwa kehidupan orang Workwana mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang menjadi fokus studi ini ialah bagaimana orang Workwana melakukan strategi coping untuk mengembangkan livelihoods secara berkelanjutan. Strategi tersebut menunjukkan bahwa penduduk asli terus berjuang menggunakan human capital yang dimilikinya dan beradaptasi, agar tetap eksis di tengah-tengah derasnya guncangan dan tekanan hidup. Rupanya, strategi coping digunakan orang Workwana untuk menyiasati hidup dan memanfaatkan peluang-peluang livelihoods secara berkelanjutan.

    Selamat membaca.

  • Vol. 15 No. 2, April (2019)

    Pembaca yang budiman,

    Limen edisi ini dimulai dengan artikel Hubungan antara Kasih dan Keadilan dalam Kehidupan Sosial menurut Reginaldo Pizzorni oleh Silvinus Soter Reyaan. Untuk bisa disebut sebagai tindakan cinta yang tulus, cinta harus memuat keadilan. Demikian pula, tindakan adil yang tulus menuntut cinta. Kita tidak dapat menyebutnya tindakan cinta yang tulus, jika keadilan hanya dipahami sebagai keharusan untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Orang yang tulus ialah orang yang melayani demi kebaikan orang lain. Menghormati hak orang lain adalah awal dari cinta, dan cinta selalu dimulai dengan keadilan. Semakin kita mencintai seseorang semakin kita tergerak untuk bertindak adil.

                Artikel kedua berjudul Kemiskinan dari Perspektif Livelihood. Bernardus Renwarin memandang livelihood sebagai suatu perspektif pembangunan masyarakat pedesaan yang bercirikan pembangunan berke-lanjutan. Perspektif ini juga membahas aneka modal manusia dan strategi yang digunakan seseorang atau sekelompok orang untuk membangun kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan. Dengan modal yang dimiliki, seseorang atau sekelompok orang mengembangkan strategi copying, agar dapat keluar dari tekanan dan goncangan yang bisa membuatnya terpuruk dan jatuh miskin. Perspektif ini menganjurkan agar orang mengembangkan strategi copying secara berjejaring, memba-ngun livelihood-nya secara berkelanjutan melalui usaha ekonomi skala kecil agar terjadi diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi. Berdasarkan praktik-praktik di berbagai belahan dunia, perspektif ini ternyata membantu orang kecil, khususnya keluarga-keluarga di pedesaan, sehingga mereka terhindar dari tekanan dan goncangan ekonomi.

                Artikel ketiga, Agama (Seolah) Tanpa Penganut. Anomali Moralitas dalam Kekerasan atas Nama Agama, ditulis oleh Fredy Sebho. Ia memba-has kekerasan atas nama agama yang banyak muncul akhir-akhir ini. Sumber problem adalah pendangkalan pemahaman. Bila kekerasan terjadi, kendati atas nama agama, stabilitas moral terjerumus dalam kebingungan dan menjadi amat rapuh, sebab di mana ada kekerasan, kebaikan menjadi buruk, dan sebaliknya. Risiko suram anomali moral ini adalah terbentuknya cara berpikir dan bersikap yang aneh dan bodoh dalam suatu kelompok sosial. Hal itu tampak ketika orang lain dilabeli sebagai kafir, terjadi pembakaran rumah-rumah ibadah, para pengikut agama lain diteror atau dibunuh. Terlebih lagi, tindakan demikian dipandang sebagai tindakan yang suci. Mereka yang berpikiran picik, radikal dan fanatik, memandang agamanya sebagai yang paling benar dibandingkan dengan agama-agama lain. Seharusnya perbedaan dalam iman menjadi dasar penting bagi dialog dan kerja sama. Bagaimana kekerasan atas nama agama dapat diminimalisir atau dihapuskan? Menurut penulis, jawabannya ialah pembentukan karakter atau cara baru dan otentik dalam menghidupi iman. Ada dua bentuk agama yang diusulkan di sini: suatu agama yang menjadi dan agama yang dewasa.

                Akhirnya, artikel Ekumene di Papua menutup edisi ini. Penulisnya, Konstantinus Bahang, menggambarkan permulaan perkembangan Gereja-gereja serta pembentukan wadah yang menyatukan Gereja-gereja tersebut. Disebutkan bahwa terdapat lebih dari 50 denominasi Gereja di Papua, yang terdiri dari Gereja Katolik, Gereja Reformasi, Gereja Kalvinis, Gereja Baptis, denominasi Evangelis, Pentakosta serta Adven Hari Ketujuh. Dalam suatu masyarakat yang semakin hibrid akibat globalisasi yang semakin meluas, gerakan ekumene merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, gerakan ekumene tampaknya rapuh sejak kebanyakan Gereja baru saja keluar dari Gereja tribal atau regional karena berhadapan dengan problem-problem sosial di Papua. Gerakan ini perlu dilandaskan pada teologi ekumene yang solid dan kemampuan mumpuni dalam mengolah keberagaman dalam orientasinya menuju kemanusiaan universal.       

    Selamat membaca!!!!

  • Vol. 15 No. 1, Oktober (2018)

    Pembaca yang budiman,

    Limen edisi ini menyajikan empat artikel, masing-masing dalam bidang filsafat, teologi, spiritualitas, dan antropologi. Tiga artikel mempunyai nuansa yang sama, berupa gugatan terhadap sejumlah diskursus yang berkembang dewasa ini. Sementara satu artikel mengangkat kegiatan yang biasa-biasa, yang ternyata memiliki nilai spiritual yang tinggi.

    Ignasius Ngari, dengan artikelnya, Mempertimbangkan Teodise Leibniz, menggugat keberadaan Tuhan dalam realitas dunia yang diwarnai oleh penderitaan. Gugatan Ngari dapat dirumuskan dalam bentuk kalimat bersyarat, “Jika Tuhan itu ada dan Mahabaik, mengapa manusia mengalami penderitan? Dari mana datangnya kejahatan?” Ngari mengudar gagasan teodise ini dengan mengikuti alur pemikitan Leibniz. Menurut Ngari, salah satu sisi permenungan terhadap masalah penderitaan yang dialami oleh manusia dapat menghasilkan negasi terhadap Tuhan. Dengan menelusuri alur permenungan filsuf-filsut yang menegasi keberadaan Tuhan maupun yang menegaskan eksistensi Tuhan, penulis sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan dan kejahatan dapat bersanding tanpa pertentangan. Penderitaan bukan mengecilkan Tuhan, melainkan sebaliknya memperbesar keberadaan Tuhan.

    Artikel kedua ditulis oleh Abdon Bisei dengan judul, Mengapa Allah Berjenggot? Pokok percakapan dalam artikel ini justru terdapat anak judul, yakni Gugatan terhadap Diskursus Teologis Kemaskulinan Allah dalam Kekristenan. Menurut Bisei, semua diskursus tentang Allah bersifat antropomorfis, yaitu suatu bentuk objektifikasi pengetahuan manusia yang merefleksikan sosok Allah. Usaha ini sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkal dan sistem linguistik androsentris. Bisei berkesimpulan bahwa reifikasi Allah sebagai laki-laki merupakan suatu hal yang tidak valid, karena Allah Umat Kristiani adalah Allah Pembebas. Allah yang membuka jalan bagi Basileia terhadap komunitas beriman yang memperlihatkan kesederajatan dan saling bergantung antara perempuan dan laki-laki. Allah

    yang mengarahkan umat manusia kepada penebusan serta pembebasan bagi kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan. Allah tidak bisa diidentifikasi dengan jenis kelamin tertentu. Ia adalah Allah yang merangkul semua dalam persaudaraan abadi, kesetaraan sejati.

    Fransikus Guna, dalam artikel ketiga menulis tentang kegiatan membaca, dengan judul Membaca sebagai Jalan Pemurnian Jiwa. Dengan berguru pada Agustinus, Guna membeberkan bahwa membaca bukan hanya suatu kegiatan untuk mengetahui sesuatu, tetapi merupakan upaya eksistensial manusia untuk mengubah diri, baik pada tataran teknis pragmatis, abstrak konseptual maupun mistik spiritual, yakni pemurnian jiwa. Seturut alur Agustinus, Guna justru memberi penekanan pada aspek mistik spiritual, yakni bahwa membaca merupakan suatu olah rohani yang merawat jiwa menuju ke “dunia atas”. Karena merupakan olah rohani, maka membaca hendaknya merupakan suatu kegiatan yang terprogram, yang dilaksanakan dengan tekun, cermat dengan orientasi yang jelas. Orientasi membaca bukan terletak di luar diri, tetapi justru di dalam diri si pembaca, yang disebut dengan istilah “ruang dalam”. Tujuannya adalah perubahan hidup, pembinaan watak, pemulihan batin, penataan kehendak, disposisi batin pada Allah, pembentukan kebiasaan hidup, dan pemulihan jiwa. Tindakan membaca terprogram ini pada akhirnya mengantar pada tercapainya pemurnian jiwa dan persatuan manusia dengan Allah.

    Albertus Heriyanto, menggugat kepemimpinan Balim. Melalui artikel Kepemimpinan Balim dalam Masyarakat Multikultur, Heriyanto menjabarkan realitas masyarakat Balim pada saat ini yang diwarnai dengan pluralitas dalam berbagai aspek kehidupannya. Pluralitas tersebut diwarnai juga dengan tarik-menarik antara kenangan akan masa lampau dan kerinduan pada masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan komunitas Balim berada dalam suasana konfliktif. Menurut Heriyanto, pluralitas tersebut menyebabkan pola-pola relasi dalam masyarakat pun berubah. Kedatangan suku-suku bangsa non-Papua di Balim dan hadirnya jabatan-jabatan kepemimpinan formal baru menggugat eksistensi kepemimpinan tradisional Balim dalam masyarakat modern ini. Analisis Heriyanto menunjukkan bahwa para pemimpin adat Balim terpaksa mereposisi kepemimpinan dan sistim hukum adatnya agar bisa tetap hadir di antara tata kepemimpinan modern, baik dalam dalam bidang keagamaan maupun dalam pemerintahan. Tata kepemimpinan Balim modern perlu memberi perhatian pada keseimbangan antara peran sistem pemerintahan dan sistem sosial lainnya dengan lembaga adat dan figur kepemimpinan tradisional Balim yang menekankan bigman, figur yang berwibawa dan berpengaruh.  

    Selamat membaca.

  • Edisi Khusus Yubileum
    Vol. 14 No. 1-2 (2018)

    Editorial

     Pembaca yang budiman, di hadapan anda hadir Limen Edisi Khusus, yang mencakup dua nomor, yakni: Tahun 14 No. 1 Oktober 2017 dan No. 2 April 2018. Alasan penerbitan edisi khusus ini ialah karena tahun ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-50 STFT “Fajar Timur” yang jatuh pada 10 Oktober 2017. Sebagai lembaga akademik, selayaknyalah bila pada momen istimewa tersebut kami menyajikan lebih banyak pemikiran bagi pembaca, kendati artikel yang dimuat tidak terangkum dalam satu tema khusus.

    Edisi khusus ini diawali dengan Nouvelle Théologie yang ditulis oleh Fransiskus Guna. Nouvelle Théologie dapat dipandang sebagai suatu gerakan pembaruan Teologi Katolik. Kendati masih diperdebatkan apakah ada sesuatu yang baru dari gerakan ini dalam pandangan teologisnya, bahkan ada yang menyangkal kebaruannya. Yang menarik adalah keberanian para pencetusnya mengungkapkan kekayaan imannya berhadapan dengan suatu dunia yang sekuler dalam cara yang bisa diterima oleh pemikiran modern. Neo-Thomisme yang dipromosikan Gereja gagal memenuhi harapan modernisme, sebaliknya Nouvelle Théologie sebagai gerakan teologis yang progresif dapat berkembang terus dan memastikan warisan teologisnya dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

    Artikel berikutnya ditulis oleh Nico Syukur Dister berjudul Simbolisasi Religius dalam Citra dan Ritus. Sebagai mahkluk religius, manusia berhubungan dengan Allah dan yang ilahi, memikirkan dan membayangkannya dengan bantuan imaginasi dan menghadirkannya melalui ritus. Gambaran Allah mengandung dua elemen berbeda, yaitu: elemen subjektif yang bersifat afektif dan memenuhi keinginan kaum beriman, dan elemen objektif yang bersifat kognitif dan bersumber pada tradisi religius kaum beriman dan berdasarkan pengetahuannya tentang Allah dari orang lain. Gambaran manusia tentang Allah dan dirinya sendiri menguatkan dan melemahkan satu sama lain secara terus-menerus, seiring dengan perkembangan pribadi seseorang. Melalui ritus manusia berkomunikasi dengan Allah. Ritus yang dilaksanakan dengan pola baku dan tak berubah mereduksi ketegangan negatif yang disebabkan oleh ambiguitas dan ketidakpastian, serta memperkuat kohesi kelompok. Ada diskrepansi di antara ritus dan hidup harian, maka satu fungsi psikologis ritus yang paling penting adalah menerangi pengalaman kritis dan keadaan peralihan, seperti kelahiran dan kematian, inisiasi dan perkawinan. Ritus juga berfungsi mengkanalisir emosi dan impuls.

    Dalam artikel berikutnya, Akar Subordinasi pada Perempuan, Abdon Bisei mengulas tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan. Ia melihat akar subordinasi perempuan dari perspektif antropologis, religius dan psikologis. Dari segi antropologis, subordinasi perempuan lahir dari perubahan sejarah hidup keluarga yang berkaitan dengan pengelolaan aset pribadi dan pewarisannya, yang mengalihkan hukum peribuan ke hukum perbapakan. Dulu aset keluarga dikuasai oleh kaum perempuan, kemudian beralih ke kaum laki-laki. Di bidang religius berlangsung suatu perubahan pemahaman akan azas ukrawi dari Dewi ke Dewa, dengan akibat bahwa laki-laki dipandang sebagai representasi dari azas ukrawi. Dari perspektif psikologis, subordinasi perempuan lahir dari mekanisme sublimasi humanum dari ketakutan laki-laki pada waktu prehumanum.

    Artikel berikutnya berjudul Murid Perempuan Yesus. Penulisnya, Alfons Jehadut, mengutarakan bahwa para penginjil tak pernah menyebutkan para perempuan yang mengikuti Yesus sebagai murid selama masa pelayanan-Nya. Mereka juga tak menceriterakan secara khusus panggilan para wanita tertentu untuk mengikuti dan menjadi murid-murid-Nya. Akan tetapi sejumlah perempuan entah disebutkan namanya atau tidak, mengikuti dan mengabdi Yesus selama masa pelayanan-Nya di depan umum sampai kematian-Nya di Gunung Kalvari. Mereka tetap setia mengabdi Yesus, pun dalam situasi kritis, dan dengan demikian menjadi model ideal kemuridan.

    Dalam artikel Tanggung Jawab sebagai Leitmotiv, Kehidupan Moral Kristiani menurut Bernhard Häring, Silvinus Soter Reyaan bergumul dengan pemikiran Bernhard Häring tentang Leitmotiv. Sebagai pribadi bebas, manusia menggunakan akal budi dan kemauannya untuk mencari kebaikan dan kebenaran. Nilai tertinggi, menurut Bernhard Häring, tidak lain ialah mencintai Allah dan sesama. Tanggung jawab ini menuntut kesetiaan dari setiap kaum beriman sepanjang hidupnya. Häring juga mengingatkan kita bahwa hidup dalam leitmotiv pun tidak dapat dilepaskan dari solidaritas terhadap sesama dan adorasi terhadap Tuhan.

    Artikel berikut berjudul Dampak Negatif Kapitalisme Global bagi Kehidupan Manusia Modern oleh Izak Resubun. Penulis melihat bahwa kapitalisme global telah merasuki pelbagai aspek kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk orang-orang yang tinggal di daerah-daerah pelosok. Kapitalisme global memberi dampak positif maupun negatif bagi manusia modern dan kehidupannya, tetapi artikel ini lebih menyoroti dampak negatifnya. Dampak negatif tersebut amat terasa baik di bidang ekonomi, sosio-politik, maupun budaya. Dampak paling negatif adalah terbentuknya manusia satu dimensi, yang mengakibatkan manusia bukan lagi makhluk yang bebas dan otonom, tetapi menjadi manusia yang dikendalikan oleh kapitalisme global yang berorientasi pada keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya.

    Masyarakat Indonesia heterogen dalam pelbagai aspek, di satu pihak merupakan suatu kekayaan bagi bangsa Indonesia. Namun di lain pihak, menimbulkan banyak tantangan, kesulitan, dan hambatan. Dengan artikelnya, Negotiation of Democracy for Interreligious Dialogue in Papua, Konstantinus Bahang memperlihatkan bahwa demokrasi merupakan salah satu modal mengembangkan dialog antaragama di Indonesia pada umumnya, lebih khusus lagi di Papua, karena keduanya mengandaikan prasyarat yang hampir sama. Secara ideologis, demokrasi ditempatkan sesudah azas keagamaan, sehingga paham demokrasi dipengaruhi dan dibentuk oleh corak baru paham demokrasi menurut setiap agama. Agama Islam dan Kristen tidak menolak demokrasi karena tidak berlawanan dengan ajaran agamanya, bahkan mengalaminya sejalan dengan ajaran agama. Jadi berkembangnya demokrasi berarti pula terbuka jalan bagi dialog antaragama di Indonesia.

    Artikel terakhir ialah Babi: Antara Sosialitas, Sakralitas dan Komoditas. Penulisnya, Albertus Heriyanto, melukiskan peran sentral babi dalam kehidupan masyarakat Balim. Babi bukan hanya hewan yang dipelihara demi pemenuhan konsumsi warga masyarakat, tetapi memiliki peran penting dalam bidang ekeonomi, sosial, politik dan religius. Seseorang yang memiliki banyak babi, berarti ia orang yang kaya dalam masyarakatnya, karena babi adalah simbol kekayaan. Dari segi sosial, babi berperan sebagai mas kawin dalam perkawinan dan sebagai hadiah yang dipertukarkan pada berbagai pesta adat dan berfungsi mengeratkan hubungan antarkerabat. Babi juga memiliki peran penting dalam kehidupan politik, karena memungkinkan pemiliknya menciptakan dan mempertahankan hubungan baik dengan para relasi, baik antarklen, antrakonfederasi, maupun antaraliansi. Dalam ritual, peran babi sebagai hewan ritual tak tergantikan. Tanpa  orang Balim babi tidak bisa menyelenggarakan ritual adat. Dalam konteks kehidupan modern, peranan babi mulai bergeser (atau meluas) dari hewan yang bernilai dalam kehidupan sosial dan religius menjadi komoditas yang menghasilkan uang. Selamat Membaca!!!

  • Vol. 12 No. 2, April (2016)

    Pembaca yang budiman,

    Edisi Limen yang ada di hadapan Anda menyajikan empat artikel yang terkait dengan pergulatan kemanusiaan kita.

    Artikel pertama yang ditulis Maximillian Boas Pegan memberikan pemaparan tentang pergumulan eklesiologis dari perspektif estetika teologis. Sorotan dari sudut pandang ini penting karena keindahan sebagai salah satu dari tiga keutamaan teologis (dua keutamaan lain adalah kebenaran dan kebaikan) dianggap sering terabaikan. Pengabaian tersebut dipengaruhi oleh orientasi berpikir teologis yang cenderung mengutamakan logika dan etika-moral. Namun demikian, terhadap masyarakat modern yang lebih cenderung menggubris bukti empiris dan logis (theo-logical) serta manfaat praktis (theo-pragmatic), maka dimensi estetis pantas dikedepankan karena lebih menyentuh pemahaman makna melalui pengalaman indrawi. Pengalaman estetis dan pemahaman akan makna tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pemahaman akan misteri Gereja di mana peran karismatis umat akan mendapat tempat yang pantas.

    Albertus Heriyanto dalam artikelnya berupaya memberi bobot pada khasanah konflik Papua dengan secara khusus menyoroti persoalan pertanahan di Papua. Tanah bagi orang Papua bermakna lebih dari sekedar tanah karena memuat sejumlah makna terkait dengan identitas dan martabat sebagai orang Papua. Orang Papua memandang tanah sedemikian penting sehingga relasi mereka dengan tanah dianalogikan dengan relasi seorang anak dengan ibunya. Tanah juga dimaknai secara sosio-ekonomis dan politis karena tanah bukan sekedar tempat untuk memperoleh nafkah tapi juga simbol identitas mereka secara komunal. Tanah menjadi simbol eksistensi mereka sebagai satu kelompok. Karena itulah tanah dapat menjadi sumber konflik apabila unsur kosmologis, ekonomis, politis, sosial dan budaya diabaikan.

    Pergumulan kemanusiaan disoroti oleh Bernardus Renwarin dari perspektif sosiologis, khususnya terkait dengan terpasungnya kemanusiaan dalam lingkaran kemiskinan ekstrim. Kondisi buruk tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti infrastruktur, sumberdaya manusia, penyakit kronis, kebijakan pemerintah, pelayanan institusi publik dan keadaan alam. Kemiskinan yang tidak hanya membelit penduduk desa tetapi juga warga perkotaan itu membutuhkan intervensi yang benar dan tepat. Intervensi itu bisa datang dari pelbagai pihak baik pemerintah, politisi, pemuka agama, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat maupun pemerhati dan aktivis pembangunan. Sorotan sosiologis ini menjadi semacam gugatan terhadap realitas kemiskinan di Papua dan kemungkinan intervensi atasnya.

    Situasi kemanusiaan yang buruk juga dipaparkan, didalami dan diberi karakter khusus oleh Neles Tebay. Pergumulan khas Papua sebagai wilayah konflik diperlihatkan melalui indikator-indikator seperti terjadinya penembakan, aktifnya perlawanan TPN/OPM, pengibaran bendera Bintang Kejora, tuntutan refrendum, peringatan 1 Desember, adanya saling curiga antara orang Papua dengan pemerintah Indonesia, serta dilakukannya operasi militer Indonesia di Papua. Situasi penuh konflik ini membutuhkan jalan keluar yang tepat. Penanganan terhadapnya berarti berupaya untuk merubah konflik yang destruktif menjadi hal konstruktif dengan suatu pendekatan yang dinamakan transformasi konflik. Supaya transformasi konflik ini dapat terlaksana secara efektif maka beberapa aspek fundamental patut diperhatikan, yakni aspek personal, relasional dan struktural. Dalam hal ini, dialog merupakan salah satu sarana manjur yang ditawarkan untuk membantu transformasi tersebut.

    Selamat membaca.

1-25 of 30