Vol. 14 No. 1-2 (2018): Edisi Khusus Yubileum

					View Vol. 14 No. 1-2 (2018): Edisi Khusus Yubileum

Editorial

 Pembaca yang budiman, di hadapan anda hadir Limen Edisi Khusus, yang mencakup dua nomor, yakni: Tahun 14 No. 1 Oktober 2017 dan No. 2 April 2018. Alasan penerbitan edisi khusus ini ialah karena tahun ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-50 STFT “Fajar Timur” yang jatuh pada 10 Oktober 2017. Sebagai lembaga akademik, selayaknyalah bila pada momen istimewa tersebut kami menyajikan lebih banyak pemikiran bagi pembaca, kendati artikel yang dimuat tidak terangkum dalam satu tema khusus.

Edisi khusus ini diawali dengan Nouvelle Théologie yang ditulis oleh Fransiskus Guna. Nouvelle Théologie dapat dipandang sebagai suatu gerakan pembaruan Teologi Katolik. Kendati masih diperdebatkan apakah ada sesuatu yang baru dari gerakan ini dalam pandangan teologisnya, bahkan ada yang menyangkal kebaruannya. Yang menarik adalah keberanian para pencetusnya mengungkapkan kekayaan imannya berhadapan dengan suatu dunia yang sekuler dalam cara yang bisa diterima oleh pemikiran modern. Neo-Thomisme yang dipromosikan Gereja gagal memenuhi harapan modernisme, sebaliknya Nouvelle Théologie sebagai gerakan teologis yang progresif dapat berkembang terus dan memastikan warisan teologisnya dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).

Artikel berikutnya ditulis oleh Nico Syukur Dister berjudul Simbolisasi Religius dalam Citra dan Ritus. Sebagai mahkluk religius, manusia berhubungan dengan Allah dan yang ilahi, memikirkan dan membayangkannya dengan bantuan imaginasi dan menghadirkannya melalui ritus. Gambaran Allah mengandung dua elemen berbeda, yaitu: elemen subjektif yang bersifat afektif dan memenuhi keinginan kaum beriman, dan elemen objektif yang bersifat kognitif dan bersumber pada tradisi religius kaum beriman dan berdasarkan pengetahuannya tentang Allah dari orang lain. Gambaran manusia tentang Allah dan dirinya sendiri menguatkan dan melemahkan satu sama lain secara terus-menerus, seiring dengan perkembangan pribadi seseorang. Melalui ritus manusia berkomunikasi dengan Allah. Ritus yang dilaksanakan dengan pola baku dan tak berubah mereduksi ketegangan negatif yang disebabkan oleh ambiguitas dan ketidakpastian, serta memperkuat kohesi kelompok. Ada diskrepansi di antara ritus dan hidup harian, maka satu fungsi psikologis ritus yang paling penting adalah menerangi pengalaman kritis dan keadaan peralihan, seperti kelahiran dan kematian, inisiasi dan perkawinan. Ritus juga berfungsi mengkanalisir emosi dan impuls.

Dalam artikel berikutnya, Akar Subordinasi pada Perempuan, Abdon Bisei mengulas tentang perbedaan gender di antara laki-laki dan perempuan. Ia melihat akar subordinasi perempuan dari perspektif antropologis, religius dan psikologis. Dari segi antropologis, subordinasi perempuan lahir dari perubahan sejarah hidup keluarga yang berkaitan dengan pengelolaan aset pribadi dan pewarisannya, yang mengalihkan hukum peribuan ke hukum perbapakan. Dulu aset keluarga dikuasai oleh kaum perempuan, kemudian beralih ke kaum laki-laki. Di bidang religius berlangsung suatu perubahan pemahaman akan azas ukrawi dari Dewi ke Dewa, dengan akibat bahwa laki-laki dipandang sebagai representasi dari azas ukrawi. Dari perspektif psikologis, subordinasi perempuan lahir dari mekanisme sublimasi humanum dari ketakutan laki-laki pada waktu prehumanum.

Artikel berikutnya berjudul Murid Perempuan Yesus. Penulisnya, Alfons Jehadut, mengutarakan bahwa para penginjil tak pernah menyebutkan para perempuan yang mengikuti Yesus sebagai murid selama masa pelayanan-Nya. Mereka juga tak menceriterakan secara khusus panggilan para wanita tertentu untuk mengikuti dan menjadi murid-murid-Nya. Akan tetapi sejumlah perempuan entah disebutkan namanya atau tidak, mengikuti dan mengabdi Yesus selama masa pelayanan-Nya di depan umum sampai kematian-Nya di Gunung Kalvari. Mereka tetap setia mengabdi Yesus, pun dalam situasi kritis, dan dengan demikian menjadi model ideal kemuridan.

Dalam artikel Tanggung Jawab sebagai Leitmotiv, Kehidupan Moral Kristiani menurut Bernhard Häring, Silvinus Soter Reyaan bergumul dengan pemikiran Bernhard Häring tentang Leitmotiv. Sebagai pribadi bebas, manusia menggunakan akal budi dan kemauannya untuk mencari kebaikan dan kebenaran. Nilai tertinggi, menurut Bernhard Häring, tidak lain ialah mencintai Allah dan sesama. Tanggung jawab ini menuntut kesetiaan dari setiap kaum beriman sepanjang hidupnya. Häring juga mengingatkan kita bahwa hidup dalam leitmotiv pun tidak dapat dilepaskan dari solidaritas terhadap sesama dan adorasi terhadap Tuhan.

Artikel berikut berjudul Dampak Negatif Kapitalisme Global bagi Kehidupan Manusia Modern oleh Izak Resubun. Penulis melihat bahwa kapitalisme global telah merasuki pelbagai aspek kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk orang-orang yang tinggal di daerah-daerah pelosok. Kapitalisme global memberi dampak positif maupun negatif bagi manusia modern dan kehidupannya, tetapi artikel ini lebih menyoroti dampak negatifnya. Dampak negatif tersebut amat terasa baik di bidang ekonomi, sosio-politik, maupun budaya. Dampak paling negatif adalah terbentuknya manusia satu dimensi, yang mengakibatkan manusia bukan lagi makhluk yang bebas dan otonom, tetapi menjadi manusia yang dikendalikan oleh kapitalisme global yang berorientasi pada keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya.

Masyarakat Indonesia heterogen dalam pelbagai aspek, di satu pihak merupakan suatu kekayaan bagi bangsa Indonesia. Namun di lain pihak, menimbulkan banyak tantangan, kesulitan, dan hambatan. Dengan artikelnya, Negotiation of Democracy for Interreligious Dialogue in Papua, Konstantinus Bahang memperlihatkan bahwa demokrasi merupakan salah satu modal mengembangkan dialog antaragama di Indonesia pada umumnya, lebih khusus lagi di Papua, karena keduanya mengandaikan prasyarat yang hampir sama. Secara ideologis, demokrasi ditempatkan sesudah azas keagamaan, sehingga paham demokrasi dipengaruhi dan dibentuk oleh corak baru paham demokrasi menurut setiap agama. Agama Islam dan Kristen tidak menolak demokrasi karena tidak berlawanan dengan ajaran agamanya, bahkan mengalaminya sejalan dengan ajaran agama. Jadi berkembangnya demokrasi berarti pula terbuka jalan bagi dialog antaragama di Indonesia.

Artikel terakhir ialah Babi: Antara Sosialitas, Sakralitas dan Komoditas. Penulisnya, Albertus Heriyanto, melukiskan peran sentral babi dalam kehidupan masyarakat Balim. Babi bukan hanya hewan yang dipelihara demi pemenuhan konsumsi warga masyarakat, tetapi memiliki peran penting dalam bidang ekeonomi, sosial, politik dan religius. Seseorang yang memiliki banyak babi, berarti ia orang yang kaya dalam masyarakatnya, karena babi adalah simbol kekayaan. Dari segi sosial, babi berperan sebagai mas kawin dalam perkawinan dan sebagai hadiah yang dipertukarkan pada berbagai pesta adat dan berfungsi mengeratkan hubungan antarkerabat. Babi juga memiliki peran penting dalam kehidupan politik, karena memungkinkan pemiliknya menciptakan dan mempertahankan hubungan baik dengan para relasi, baik antarklen, antrakonfederasi, maupun antaraliansi. Dalam ritual, peran babi sebagai hewan ritual tak tergantikan. Tanpa  orang Balim babi tidak bisa menyelenggarakan ritual adat. Dalam konteks kehidupan modern, peranan babi mulai bergeser (atau meluas) dari hewan yang bernilai dalam kehidupan sosial dan religius menjadi komoditas yang menghasilkan uang. Selamat Membaca!!!

Published: 2018-10-20