Vol. 18 No. 1 (Oktober) (2021)

					View Vol. 18 No. 1 (Oktober) (2021)

Pembaca budiman, Limen edisi ini akan menyajikan empat naskah dari khasanah ilmu teologi, hukum Gereja, dan pastoral.
Masyarakat yang plural menawarkan berbagai nilai. Dari perspektif teologi, nilai-nilai yang ditawarkan dalam kehidupan manusia dapat menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan tentang Allah. “Apa yang mau saya katakan tentang Allah melalui nilai-nilai itu?” Artikel pertama edisi ini mengajak kita berziarah bersama Paul F. Knitter, melalui refleksinya tentang Allah dalam masyarakat yang plural. Fransiskus Borgias yang menelusuri pemikiran Knitter, menyajikan analisisnya melalui artikel yang berjudul Paul F. Knitter: Dari Titik ke Tanda Tanya. Sebuah Survey dan Penelitian terhadap Teologi Knitter. Hasil penelitian Borgias menunjukkan kepada kita bahwa pemikiran Knitter merupakan upaya untuk menemukan metode dan cara berdialog dengan agama-agama-agama lain dalam realitas masyarakat yang plural.
Hidup bersama dalam masyarakat yang plural mengandaikan atmosfir sosial yang dialogis, sehingga dapat terbentuk suatu komunitas masyarakat yang komunikatif. Knitter berpegang pada keyakinan Katoliknya menawarkan metode dialog untuk menemukan pokok-pokok yang membedakan penghayatan iman umat dari komunitas agama berbeda tapi sekaligus menyatukan mereka. Dalam membentuk komunitas yang komunikatif pada tataran hidup beragama, Maximilan Boas Pegan seakan menegaskan pemikiran Knitter yang pada artikel sebelumnya diudar oleh Borgias. Melalui artikel Tuhan: Partisipan yang Imparsial, Pegan memberi peringatan bahwa fanatisme beragama dapat menjadi pemecah-belah hidup bersama yang membawa manusia penderitaan. Karena itu, Pegan mengajukan proposal untuk membangun hubungan antarumat beragama dengan berusaha melihat seluruh pesan Tuhan terhadap umatnya secara imparsial. Dalam posisinya sebagai seorang Katolik, Pegan menegaskan pendirian umat Kristen berdasarkan ajaran Kristus yakni mencintai keuniversalan rencana Tuhan melalui kesaksian hidup.

Martinus Selitubun dengan artikelnya Tonggak-Tonggak Inkardinasi dalam Gereja, menyajikan pemikiran yang menarik tentang inkardinasi. Ia mengatakan bahwa kepemimpinan suatu kelompok membutuhkan legalitas. Dalam Gereja -sebagai suatu institusi sosial- legalitas kepemimpinan itu diberikan pada seorang imam melalui tahbisan dan perutusan. Seorang yang tertahbis pada suatu keuskupan dapat menjalankan tugas perutusannya pada suatu paroki di luar keuskupannya. Agar memiliki legalitas penuh dengan yurisdiksi yang kuat, ia perlu mendapatkan status inkardinatif dari ordinaris wilayah, tempat yang bersangkutan menjalani tugas perutusannya.
Dalam artikel keempat, Oksianus K. Bukega mengatakan bahwa komunitas besar, masyarakat yang plural, tidak boleh menenggelamkan komunitas-komunitas minoritas ke dalam komunitasnya. Komunitas besar justru harus tetap menerima keunikan komunitas-komunitas kecil dan memungkinkan kelompok minoritas menegaskan jati diri mereka. Bukega berpendapat bahwa pengenalan Gereja akan jati diri suatu kelompok etnis -sebagaimana halnya sukubangsa Ngalum- dapat memberi sumbangan bagi usaha evangelisasi untuk membangun komunitas beriman kristiani. Bukega membahas upaya pembinaan iman yang memperhitungkan nilai-nilai kearifan masyarakat setempat itu, melalui artikelnya Iwol: Pintu Masuk Evanggelisasi Berbasis Budaya bagi Sukubangsa Ngalum. Menurutnya, banyak aspek budaya sukubangsa Ngalum dapat diintegrasikan dalam hidup menggereja dan diperjumpakan dengan nilai-nilai Injil. Dengan perspektif itulah nilai-nilai kehidupan yang dihayati kelompok-kelompok kesukuan itu dapat terserap ke dalam kehidupan bersama, khususnya dalam hidup menggereja.
Semoga kita mampu menerima kemajemukan dan tetap berpegang pada keyakinan iman kita.
Selamat membaca.

Published: 2022-08-22