Vol. 15 No. 1, Oktober (2018)

					View Vol. 15 No. 1, Oktober (2018)

Pembaca yang budiman,

Limen edisi ini menyajikan empat artikel, masing-masing dalam bidang filsafat, teologi, spiritualitas, dan antropologi. Tiga artikel mempunyai nuansa yang sama, berupa gugatan terhadap sejumlah diskursus yang berkembang dewasa ini. Sementara satu artikel mengangkat kegiatan yang biasa-biasa, yang ternyata memiliki nilai spiritual yang tinggi.

Ignasius Ngari, dengan artikelnya, Mempertimbangkan Teodise Leibniz, menggugat keberadaan Tuhan dalam realitas dunia yang diwarnai oleh penderitaan. Gugatan Ngari dapat dirumuskan dalam bentuk kalimat bersyarat, “Jika Tuhan itu ada dan Mahabaik, mengapa manusia mengalami penderitan? Dari mana datangnya kejahatan?” Ngari mengudar gagasan teodise ini dengan mengikuti alur pemikitan Leibniz. Menurut Ngari, salah satu sisi permenungan terhadap masalah penderitaan yang dialami oleh manusia dapat menghasilkan negasi terhadap Tuhan. Dengan menelusuri alur permenungan filsuf-filsut yang menegasi keberadaan Tuhan maupun yang menegaskan eksistensi Tuhan, penulis sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan dan kejahatan dapat bersanding tanpa pertentangan. Penderitaan bukan mengecilkan Tuhan, melainkan sebaliknya memperbesar keberadaan Tuhan.

Artikel kedua ditulis oleh Abdon Bisei dengan judul, Mengapa Allah Berjenggot? Pokok percakapan dalam artikel ini justru terdapat anak judul, yakni Gugatan terhadap Diskursus Teologis Kemaskulinan Allah dalam Kekristenan. Menurut Bisei, semua diskursus tentang Allah bersifat antropomorfis, yaitu suatu bentuk objektifikasi pengetahuan manusia yang merefleksikan sosok Allah. Usaha ini sangat dipengaruhi oleh budaya patriarkal dan sistem linguistik androsentris. Bisei berkesimpulan bahwa reifikasi Allah sebagai laki-laki merupakan suatu hal yang tidak valid, karena Allah Umat Kristiani adalah Allah Pembebas. Allah yang membuka jalan bagi Basileia terhadap komunitas beriman yang memperlihatkan kesederajatan dan saling bergantung antara perempuan dan laki-laki. Allah

yang mengarahkan umat manusia kepada penebusan serta pembebasan bagi kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan. Allah tidak bisa diidentifikasi dengan jenis kelamin tertentu. Ia adalah Allah yang merangkul semua dalam persaudaraan abadi, kesetaraan sejati.

Fransikus Guna, dalam artikel ketiga menulis tentang kegiatan membaca, dengan judul Membaca sebagai Jalan Pemurnian Jiwa. Dengan berguru pada Agustinus, Guna membeberkan bahwa membaca bukan hanya suatu kegiatan untuk mengetahui sesuatu, tetapi merupakan upaya eksistensial manusia untuk mengubah diri, baik pada tataran teknis pragmatis, abstrak konseptual maupun mistik spiritual, yakni pemurnian jiwa. Seturut alur Agustinus, Guna justru memberi penekanan pada aspek mistik spiritual, yakni bahwa membaca merupakan suatu olah rohani yang merawat jiwa menuju ke “dunia atas”. Karena merupakan olah rohani, maka membaca hendaknya merupakan suatu kegiatan yang terprogram, yang dilaksanakan dengan tekun, cermat dengan orientasi yang jelas. Orientasi membaca bukan terletak di luar diri, tetapi justru di dalam diri si pembaca, yang disebut dengan istilah “ruang dalam”. Tujuannya adalah perubahan hidup, pembinaan watak, pemulihan batin, penataan kehendak, disposisi batin pada Allah, pembentukan kebiasaan hidup, dan pemulihan jiwa. Tindakan membaca terprogram ini pada akhirnya mengantar pada tercapainya pemurnian jiwa dan persatuan manusia dengan Allah.

Albertus Heriyanto, menggugat kepemimpinan Balim. Melalui artikel Kepemimpinan Balim dalam Masyarakat Multikultur, Heriyanto menjabarkan realitas masyarakat Balim pada saat ini yang diwarnai dengan pluralitas dalam berbagai aspek kehidupannya. Pluralitas tersebut diwarnai juga dengan tarik-menarik antara kenangan akan masa lampau dan kerinduan pada masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan komunitas Balim berada dalam suasana konfliktif. Menurut Heriyanto, pluralitas tersebut menyebabkan pola-pola relasi dalam masyarakat pun berubah. Kedatangan suku-suku bangsa non-Papua di Balim dan hadirnya jabatan-jabatan kepemimpinan formal baru menggugat eksistensi kepemimpinan tradisional Balim dalam masyarakat modern ini. Analisis Heriyanto menunjukkan bahwa para pemimpin adat Balim terpaksa mereposisi kepemimpinan dan sistim hukum adatnya agar bisa tetap hadir di antara tata kepemimpinan modern, baik dalam dalam bidang keagamaan maupun dalam pemerintahan. Tata kepemimpinan Balim modern perlu memberi perhatian pada keseimbangan antara peran sistem pemerintahan dan sistem sosial lainnya dengan lembaga adat dan figur kepemimpinan tradisional Balim yang menekankan bigman, figur yang berwibawa dan berpengaruh.  

Selamat membaca.

Published: 2019-06-27