Vol. 16 No. 1, Oktober (2019)

					View Vol. 16 No. 1, Oktober (2019)

Pembaca budiman, Limen edisi ini akan menyajikan empat naskah dari khasanah teologi, etika Kristen, misiologi, dan sosiologi. Karya-karya tersebut didedikasikan kepada Prof. Dr. Nico Syukur Dister, OFM yang pada 7 Maret 2019 yang lalu genap berusia 80 tahun.

Dalam artikel pertama, Fransiskus Guna menelisik pemikiran Nicholas dari Cusa, dalam karyanya, De Docta Ignorantia. Dalam karya tersebut Cusanus mengembangkan doktrinnya tentang Tuhan sebagai coincidentia oppoitorum, yaitu di dalam Tuhan, semua yang berbeda dan bertentangan bertindih secara tepat. Umumnya, hal-hal yang tidak diketahui dinilai dari kemiripannya dengan hal-hal yang diketahui, seperti jarak yang sangat jauh diukur dengan serangkaian jarak yang lebih kecil yang diketahui. Masalahnya, Tuhan, Sang Maksimum dan Minimum Mutlak itu, adalah tak terbatas dan tak terukur. Maksimum berarti semua yang ada. Tidak ada yang melampauinya. Namun, jika itu menyelimuti semua kemungkinan keberadaan dalam dirinya sendiri, maka tidak ada yang kurang dari itu; dan karena itu juga berarti Minimum. Baik Maksimum maupun Minimum adalah sebutan alternatif untuk Yang Tak Terbatas. Keduanya bertepatan.

Eliade mengakui bahwa gagasan Cusanus tentang coincidentia oppoitorum berfungsi sebagai pengaruh formatif pada gagasannya sendiri tentang yang sakral dan yang profan, bahkan membuatnya terpesona sampai akhir hidupnya. Tapi seberapa tepatkah menyesuaikan Cusanus dengan cara yang dilakukan Eliade? Pada titik ini, Frans Guna mengatakan bahwa mungkin cukup untuk sekedar dicatat bahwa Eliade tampaknya melihat coincidentia oppoitorum sebagai surat perintah untuk menghilangkan sejarah. Kontribusinya, terletak pada ritus prasejarah, mitos dan teori.

Pada artikel kedua, Silvinus Soter Reyaan menulis bahwa sebagai seorang Kristen, berpegang pada salib Kristus merupakan segalanya untuk kehidupan moralnya. Menurutnya, di kayu salib, seorang Kristen menemukan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan kebahagiaan, dan keselamatan. Ia menemukan kebebasan sejati dengan selalu memilih untuk tetap setia pada kehendak Tuhan. Seorang Kristen sejati tidak akan pernah lari dari salib Kristus, meskipun pilihan tersebut menuntut penderitaan dan pengorbanan. Di sisi lain, dengan melihat salib, ia tahu bagaimana harus menjalani karunia pengampunan dalam hidupnya, yang membawanya pada kebahagiaan sejati. Segala nilai dan norma, yang disebutnya dalam tulisan ini sebagai “moralitas” selalu hadir dan diperbarui setiap kali seseorang melaksanakan nilai dan norma tersebut dengan sepenuh hati.

Di artikel berikutnya, Konstantinus Bahang menulis tentang  kunjungan Paus Fransiskus ke Mesir dan Uni Emirat Arab pada 2019, yang tampaknya terinspirasi olehperjumpaan Santo Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil, yang terjadi pada tahun 1219. Kunjungan bersejarah Paus Fransiskus itu menandai peringatan kedelapan ratus pertemuan Santo Fransiskus dengan Sultan Mesir. Pertemuan ini dapat dianggap sebagai model yang menginspirasi umat manusia untuk membangun relasi yang baik antarumat beragama, khususnya relasi antara umat Kristen dan Muslim. Namun, Bahang memberi catatan bahwa pertemuan ini ditafsirkan berabad-abad setelah perjumpaan itu terjadi, dan ditafsirkan dari sudut pandang dialog modern yang mungkin bertolak belakang dengan konteks saat itu. Maka, makna pertemuan ini harus dipahami dalam terang misi Fransiskan dan semangat persaudaraan universal yang terdapat dalam Regula dan Perjanjian pertama Santo Fransiskus.

Tulisan keempat, karya Bernardus Renwarin, berisi refleksi atas realitas kehidupan Orang Workwana di Distrik Arso, Kabupaten Keerom. Studi tentang kampung Workwana, secara empiris dan teoritis memperlihatkan bahwa kehidupan orang Workwana mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang menjadi fokus studi ini ialah bagaimana orang Workwana melakukan strategi coping untuk mengembangkan livelihoods secara berkelanjutan. Strategi tersebut menunjukkan bahwa penduduk asli terus berjuang menggunakan human capital yang dimilikinya dan beradaptasi, agar tetap eksis di tengah-tengah derasnya guncangan dan tekanan hidup. Rupanya, strategi coping digunakan orang Workwana untuk menyiasati hidup dan memanfaatkan peluang-peluang livelihoods secara berkelanjutan.

Selamat membaca.

Published: 2020-11-03