Vol. 12 No. 2, April (2016)

					View Vol. 12 No. 2, April (2016)

Pembaca yang budiman,

Edisi Limen yang ada di hadapan Anda menyajikan empat artikel yang terkait dengan pergulatan kemanusiaan kita.

Artikel pertama yang ditulis Maximillian Boas Pegan memberikan pemaparan tentang pergumulan eklesiologis dari perspektif estetika teologis. Sorotan dari sudut pandang ini penting karena keindahan sebagai salah satu dari tiga keutamaan teologis (dua keutamaan lain adalah kebenaran dan kebaikan) dianggap sering terabaikan. Pengabaian tersebut dipengaruhi oleh orientasi berpikir teologis yang cenderung mengutamakan logika dan etika-moral. Namun demikian, terhadap masyarakat modern yang lebih cenderung menggubris bukti empiris dan logis (theo-logical) serta manfaat praktis (theo-pragmatic), maka dimensi estetis pantas dikedepankan karena lebih menyentuh pemahaman makna melalui pengalaman indrawi. Pengalaman estetis dan pemahaman akan makna tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pemahaman akan misteri Gereja di mana peran karismatis umat akan mendapat tempat yang pantas.

Albertus Heriyanto dalam artikelnya berupaya memberi bobot pada khasanah konflik Papua dengan secara khusus menyoroti persoalan pertanahan di Papua. Tanah bagi orang Papua bermakna lebih dari sekedar tanah karena memuat sejumlah makna terkait dengan identitas dan martabat sebagai orang Papua. Orang Papua memandang tanah sedemikian penting sehingga relasi mereka dengan tanah dianalogikan dengan relasi seorang anak dengan ibunya. Tanah juga dimaknai secara sosio-ekonomis dan politis karena tanah bukan sekedar tempat untuk memperoleh nafkah tapi juga simbol identitas mereka secara komunal. Tanah menjadi simbol eksistensi mereka sebagai satu kelompok. Karena itulah tanah dapat menjadi sumber konflik apabila unsur kosmologis, ekonomis, politis, sosial dan budaya diabaikan.

Pergumulan kemanusiaan disoroti oleh Bernardus Renwarin dari perspektif sosiologis, khususnya terkait dengan terpasungnya kemanusiaan dalam lingkaran kemiskinan ekstrim. Kondisi buruk tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti infrastruktur, sumberdaya manusia, penyakit kronis, kebijakan pemerintah, pelayanan institusi publik dan keadaan alam. Kemiskinan yang tidak hanya membelit penduduk desa tetapi juga warga perkotaan itu membutuhkan intervensi yang benar dan tepat. Intervensi itu bisa datang dari pelbagai pihak baik pemerintah, politisi, pemuka agama, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat maupun pemerhati dan aktivis pembangunan. Sorotan sosiologis ini menjadi semacam gugatan terhadap realitas kemiskinan di Papua dan kemungkinan intervensi atasnya.

Situasi kemanusiaan yang buruk juga dipaparkan, didalami dan diberi karakter khusus oleh Neles Tebay. Pergumulan khas Papua sebagai wilayah konflik diperlihatkan melalui indikator-indikator seperti terjadinya penembakan, aktifnya perlawanan TPN/OPM, pengibaran bendera Bintang Kejora, tuntutan refrendum, peringatan 1 Desember, adanya saling curiga antara orang Papua dengan pemerintah Indonesia, serta dilakukannya operasi militer Indonesia di Papua. Situasi penuh konflik ini membutuhkan jalan keluar yang tepat. Penanganan terhadapnya berarti berupaya untuk merubah konflik yang destruktif menjadi hal konstruktif dengan suatu pendekatan yang dinamakan transformasi konflik. Supaya transformasi konflik ini dapat terlaksana secara efektif maka beberapa aspek fundamental patut diperhatikan, yakni aspek personal, relasional dan struktural. Dalam hal ini, dialog merupakan salah satu sarana manjur yang ditawarkan untuk membantu transformasi tersebut.

Selamat membaca.

Published: 2019-06-27